Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2018/PN Met | Oki Hageli bin Sukirno | Polisi Sektor Metro Barat | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Selasa, 05 Jun. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2018/PN Met | ||||
Tanggal Surat | Selasa, 05 Jun. 2018 | ||||
Nomor Surat | 026/SK/A&P/V/2018 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan |
bahwa tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penetapan tersangka,penggeledahan, penyitaan,penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwadalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadaphak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Mengadili, Menyatakan : Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : [dst] [dst] Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
Adapun kronologi permasalahan yang perlu kami jelaskan, demi dipahaminya duduk perkara sesuai dengan fakta yang terjadi, sebagai berikut:
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Bahwa Pasal 18 Ayat 1 KUHAP mensyaratkan: Pasal 18 (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Bahwa Pada saat penangkapan Pemohon tidak sama sekali diperlihatkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan serta Penahanan bahkan termohon tidak memberitahukan identitas nya di awal penangkapan sampai pada saat keluarga Pemohon Keluar untuk mengejar Pemohon yang sudah diseret ke mobil, barulah termohon memberikan tembakan peringatan ke udara dan mengatakan “Kalau Mau Jelas datang saja ke Polres Metro" dari situlah Pemohon dan Keluarganya mengetahui identitas Termohon.
Bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP tentang keharusan menyampaikan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Pemberitahuan Penahanan segera setelah seseorang ditangkap tidaklah di jalankan oleh termohon, bahkan Istri Pemohon nlah yang mengambil sendiri surat tersebut dirumah Wakapolsek Polsek Metro Barat. Adapun surat tersebut untuk menghindarkan diri dari kecacatan Prosedur, termohon mencantumkan tanggal mundur dimana seolah olah surat tersebut diberikan saat penangkapan dan penahanan.
Bahwa Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia mensyaratkan Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan
Dalam Pasal 6 huruf d Perkapolri 8/2009 disyaratkan juga Terduga Pelaku Tindak Pidana dalam penangkapan nya Bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa.
Fakta Hukum nya pada saat di tangkap dan di Tahan saudara pemohonmendapatkan penyiksaan mulai dari Pemukulan, Penembakan serta Penyundutan rokok yang menyala pada lengan kiri pemohon sampai menderita luka bakar yang cukup parah, hal ini sungguh sangat bertentangan dengan Prinsip asas praduga tak bersalah dimana seorang tersangka dianggap belum bersalah sampai pengadilan memutuskan dirinya bersalah dan karenanya perlindungan sebagai seorang yang belum dianggap bersalah melekat pada dirinya.
Berdasarkan PertimbanganHal hal di atas Untuk itu Penangkapan dan Penahanan terhadap diri Pemohon harus dinyatakan Tidak SAH oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo.
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
Bahwa Mahkamah Agung menegaskan kembali objek pra peradilan berupa penetapan tersangka dalam PERMA RI Nomor 4 Tahun 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN dalam BAB II Pasal 2 ayat (1) dan (2), menjelaskan:
Obyek Praperadilan adalah : sah atau tidaknya penangkapan,penahanan, penghentian penyidikan atau penghentianpenuntutan, penetapan tersangka, penyitaan danpenggeledahan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorangyang perkara pidananya dihentikan pada tingkatpenyidikan atau penuntutan. Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara;
Bahwa Pemohon di tangkap dan di tahan dengan tuduhan dengan didasari 2 buah alat bukti yang bukan lah milik pemohon dan pemohon dipaksa untuk mengakuinya hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan pemohon dan istri termohon.
KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang.
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.
Selain itu, pemuatan hak asasi dalam tugas kepolisian sebagai penyidik, juga ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.” Kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 1 “bahwa polisi harus senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum, dan mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan dan menjunjung tinggi HAM.”
Dalam kaitannya dengan wewenang polisi dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka guna mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, maka prinsip yang harus dipegang adalah berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan “bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Mengenai arti dari penyiksaan itu sendiri kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 butir 4 : “Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.”
International Convenant on Civil and Political Rigt (ICCPR) tampaknya juga memberikan pengaturan hak hidup sebagai hak fundamental. Konvenan ini menjunjung tingi hak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta memberi fondasi bagi perlindungan dalam penahanan. Dalam Pasal 9 ICCPR menegaskan: a. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. b. Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya. c. Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. d. Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan, penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
Bahwa dalam KUHAP BAB XII Tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Pasal 95 tentang ganti kerugian menjelaskan bahwa :
Dan Pasal 97 tentang rehabilitasi menjelaskan bahwa:
Bahwa atas tindakan atau proses Penangkapan dan penahanan pemohon yang sewenang wenang dan menggunakan tindakan kekerasan dengan cara menembak kedua kaki pemohon masing masing 2 peluru pada setiap kaki serta posisi tembakan pun di arahkan ke Lutut Pemohon yang sangat Vital kaitan nya dengan kondisi pemohon kedepan nya untuk berjalan secara normal.
Perbuatan termohon pada pemohon mengakibatkan kecataatan fisik pemohon pada sepasang kaki dan hal tersebut berakibat pada ketidakmampuan pemohon bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga pemohon sebagai tulang punggung keluarga.
Bahwa oleh karena PARA PEMOHON tidak dapat memberikan nafkah lahir dan batin selama prosen Penahanan akibat Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan yang tidak SAH tersebut yang membuat keadaan ekonomi keluarga PARA PEMOHON memburuk, untuk itu sesuai dengan Pasal 95 KUHAP PEMOHON berhak menuntut Ganti Kerugian baik secara materiil maupun immateriil kepada TERMOHON; yang dinilai sebesar RP. 1.000.000.000,- ( 1 Miliar Rupiah);
Bahwa akibat dari Penetapan Tersangka dan Penangkapan Serta Penahanan yang tidak SAH tersebut, berakibat pada kondisi Psikologis pada diri PARA PEMOHON dan juga keluarga PARA PEMOHON. PARA PEMOHON merasa harkat dan martabatnya sebagai warga negara yang baik telah HILANG dan membuatnya MALU untuk kembali bersosialisasi dengan warga setempat karena tekanan Psikologis tersebut. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 97 KUHAP, PARA PEMOHON berhak mendapatkan REHABILITASI dari PIHAK TERMOHON dengan cara memulihkan nama baik serta harkat dan martabatnya di muka umum melalui media masa koran yang ada di Provinsi Lampung yaitu: Lampung Post, Radar Lampung (Radar Metro dan Radar Lampung Tengah) dan Tribun Lampung;
Majelis Hakim Yang Mulia Sdr. Termohon Yang Kami Hormati Sidang Yang Kami Muliakan
Bahwa salah satu prinsip dalam Hukum Acara Pidana adalah Asas Legalitas (Principle of Legality). Asas ini menyatakan bahwa setiap penangkapan, penahanan, hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
Bahwa berdasarkan prinsip hukum seperti diuraikan di atas maka setiap upaya paksa (Bijzondere Dwang Middelen) seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan maupun pemeriksaan surat yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang harus berdasarkan perintah tertulis dan perintah tertulis tersebut harus sah dan tidak cacat hukum;
Bahwa tidak terpenuhinya syarat-syarat seperti diuraikan pada Dalil-Dalil kami di atas mengakibatkan Penetapan Tersangka dan upaya paksa penangkapan serta Penahanan yang dilakukan oleh Termohon kepada Para Pemohon menjadi TIDAK SAH;
Bahwa Penangkapan yang dilakukan TERMOHON terkesan sewenang-wenang. Bahwa Surat Perintah Penangkapan yang dimaksud baru diterima oleh keluarga PEMOHON beberapa hari kemudian. Oleh karena itu sekali lagi kami TEGASKAN kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo bahwa Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh TERMOHON kepada Para PEMOHONadalahtidak sah dan melanggar hukum;
Bahwa tindakan TERMOHON dalam melakukan Penetapan Tersangka dan Penangkapan serta Penahanan kepada PARA PEMOHON tidak sesuai dengan motto TEKAB 308 yang mengatakan pertama tepat sasaran, kedua tepat tindakan, dan ketiga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan logika;
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Para Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Metro yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Metro yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Metro yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |